Sinar Tani Edisi 11-17 September 2010. Oleh: Sumarno – Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor
Sejalan dengan gerakan “Go green livingstyle” atau budaya sadar lingkungan, yang termanifestasi pada “Green Technology, green industry, green building, green tourism, dan bahkan green economy”, bidang pertanian yang bernuansa hijau sekalipun, perlu mengadopsi Teknologi Hijau atau Teknologi Pertanian Hijau (Green Agriculture), bukan hanya Teknologi Revolusi Hijau.
Teknologi Revolusi Hijau pada budidaya padi sawah yang diterapkan sejak akhir tahun 1960-an dan telah berhasil menyelamatkan bangsa Indonesia dari ancaman bahaya kelaparan, ternyata masih sering dihujat dan dikritik keras sebagai perusak lingkungan. Secara spesifik, kelemahan yang sering dikemukakan oleh para penentang Teknologi Revolusi Hijau, antara lain adalah: (1) terjadinya pencemaran lingkungan dan bodi air oleh residu pupuk dan pestisida oleh penggunanya yang kurang tepat; (2) cemaran, paparan dan kontaminasi pestisida pada pelaku/pekerja usahatani di lapangan, ternak dan hasil panen yang berakibat terhadap gangguan kesehatan atau keracunan;(3) pemusnahan komponen biotalingkungan terdiri dari serangga bermanfaat, hewan-hewan predator hama dan mikroba bermanfaat pada lapisan atas tanah; (4) penyempitan keanekaragaman hayati serta pemiskinan kekayaan plasma nutfah padi sawah; (5) penambahan atau pengurasan hara tanah, sehingga tanah menjadi kahat hara makro dan mikro, serta ketersediaan hara tidak seimbang.
Di samping hal-hal negative tersebut, Teknologi Revolusi Hijau juga dianggap “memarginalkan petani gurem” dan sebaliknya hanya memakmurkan petani berlahan luas. Hal terkhir ini sebenarnya tidak tepat dikambinghitamkan kepada Teknologi Revolusi Hijau, karena dengan teknologi apapun, petani atau pengusaha yang kaya akan lebih cepat bertambah kaya dan sebalinya petani gurem akan tetap miskin. Masih tentang keburukan Teknologi Revolusi Hijau, disebutkan juga petani semakin bergantung pada pupuk organic buatan pabrik, petani tergantung pada benih dari perusahan sehingga tidak ada kemandirian petani, dan petani menjadi sangat tergantung pada modal tunai, karena segala macam sarana produksi harus dibeli. Mengikuti uraian tersebut, orang menilai bahwa Teknologi Revolusi Hijau sangat berbahaya atau merugikan petani. Apalagi masih ditambah bahwa Teknologi Revolusi Hijau merusak lingkungan dan mengakibatkan system produksi tidak berkelanjutan. Sebagian masyarakat lantas beralih ke Teknologi saran organic yang dianggap aman dan dapat mengatasi dampak negative Teknologi Revolusi Hijau tersebut.
Sebenarnya teknologi sarana organic yang secara salah kaprah disebut “Pertanian Organik” sudah diterapkan sejak zaman Kerajaan Mataram tahun 1630-an hingga zaman awal kemerdekaan tahung 1960-an. Pada zaman itu belum ada pabrik pupuk anorganik dan pestisida. Tanah sawah masih subur dan luas, belum ada yang dikonversi menjadi perumahan, kantorm jalan raya atau pusat perbelanjaan. Tetapi kita tahu, walaupun tanah masih subur dan luas, jumlah penduduk masih sedikit (tahun 1955 penduduk Indonesia baru sekitar 75 juta jiwa), tetapi bangsa Indonesia terus menerus mengalami kekurangan pangan, harga beras mahal dan ketersediaan beras terbatas. Setelah Teknologi Revolusi Hijau dipraktekkan atau diadopsi oleh petani, barulah ketersediaan beras menjadi melimpah, harga beras lebih murah dan bahaya kelaparan sangat jarang, padahal penduduk Indonesia jumlahnya telah berlipat tiga kali lebih menjadi 235 Juta jiwa dan luasan sawah menyusut. Jadi bagi bangsa Indonesia yang besar ini, tidak tersedia pilihan lain, kalau ingin tercukupi produksi bahan pangan (beras), harus tetap mengadopsi Teknologi Revolsi Hijau.
Teknologi Revolusi Hijau tidak perlu kita hujat, tetapi perlu kita sempurnakan. Untuk mengatasi permasalahan yang disebutkan di atas, Teknologi Revolsui Hijau perlu disempurnakan penerapannya, yang sejalan dengan kaedah”Teknologi Pertanian Hijau”, atau “Green Agriculture”.
Green Agriculuture berbeda dengan “Revolusi Hijau”
Komponen Teknologi Revolusi Hijau padi yang utama adalah penanaman varietas unggul, pupuk anorganik dosis tinggi, penggunaan pestisida dan ketersediaan pengairan melimpah. Intesitas penanaman padi juga ditingkatkan menjadi dua kali setahun, bahkan tiga atau empat kali setahun. Dampak negative lain dari praktek teknologi revolusi hijau intensif tersebut, adalah jerami tidak sempat dibusukkan, petani tidak sempat menambahkan bahan organic dan rotasi tanaman ditinggalkan.
Koreksi terhadap Teknologi Revolusi Hijau tersebut adalah dengan menerapkan teknologi pertanian hijau atau green agriculture.Teknologi Pertanian Hijau pada dasarnya adalah teknologi pertanian maju ramah lingkungan, aman terhadap pekerja lapang, hasil panen aman konsumsi, system produksi berkelanjutan dan usahatani menguntungkan.
Kementerian Peranian Republik China yan pada tahun 1990 menggagas dan memperkenalkan Konsep Green Agriculture atau Teknologi Peranian Hijau. Pada tahun 1992 di China dibentuk Pusat Pengembangan Green menyusun ketentuan Green Agriculture atau Protokol Green Agriculture.
Teknologi Pertanian Hijau di China begitu cepat berkembang dan diadopsi oleh petani. Hanya dalam waktu 15 tahun, pada tahun 2008 produk Green Food mencapai total 90 juta ton dari hasil panen Green Agriculture seluas 75 juta Mu. Ekspor Green Food China mencapai nilai $US2,3 miliar pada tahun 2008, dilakukan oleh 826 perusahaan pangan dan olahan.
Bagaimana Menerapkan Green Agriculture?
Di China ketentuan aturan tentang Green Agriculutredan Green Food, disusun oleh ahli produksi pertanian dengan konsultasi secara intensif dengan ahli lingkungan. Pada tahun 1992, Kementerian Pertanian China telah mensyahkan Peraturan Ketentuan tentang Protokol Green Agriculture-Green Food yang disebut dengan Protocol Green Agriculuture (PGA). PGA disesuaikan dengan masing-masing kelompok komoditas sehingga menjadi operasional di lapangan, tetapi substansi dan tujuan sama.
PGA disosialisasikan kepada kelompok tani, petani dilatih dan dibimbing, setelah menerapkan PGA, mulai tahun kedua, dilakukan akreditasi dan supervise terhadap lading pertanian yang mengadopsi ketentua PGA. Ladang pengadopsi PGA yang dinyatakan lulus, diberikan Sertifikat Green Food.
Terhadap produk olahan yang menggunakan logo Green Food, juga dilakukan supervisi, inspeksi dan analisa/testing. Proses olahan pada industry pengolahan juga mengacu kepada ketentuan olahan produk Green Food. Apabila obyek pemeriksaan lulus, produk diberi label dan logo Green Food (GF). Produk olahan Green Food harus berasal dari Green Agriculture.
Dari survey yang dilakukan di kota besar China, diketahui bahwa 83% penduduk kota sudah paham tentang Green Food; dari konsumen yang akan berbelanja 71% mengenal logo Green Food. Dalam perjalanan programnya selam 16 tahun sejak tahun 1993, Green Agriculture di China dinilai sangat berhasil meningkatkan mutu produk pertanian dan pendapatan.